Minggu, 19 Desember 2010

singkap cerita kelam di balik kesucian pesantren

Seksualitas dan cinta lawan jenis selama ini menjadi suatu hal yang ditabukan di lingkungan pesantren. Namun, faktanya pembatasan pergaulan lawan jenis yang berlebihan merupakan faktor utama dari disorientasi seksual yang terjadi di pesantren. Muncullah praktik seks (atau cinta?) sejenis atawa homoseksual, yang di pesantren popular dengan sebutan mairil. Praktik ini berjalan secara diam-diam, bahkan mungkin diketahui oleh sang kiai.
Mairil sudah menjadi khasanah klandestin di pesantren, bahkan kadang menjadi bahan guyonan renyah. Humor ini biasanya terjadi ketika ada santri baru datang ke pondok. Anak atau remaja yang belum tahu apa-apa tentang pondok pesantren ini akan disuruh untuk menghadap santri-santri senior, istilahnya perkenalan atau sowan. Nah, para penggojlog ini menyuruh si anak bilang begini pada sang senior: "Pak, saya mau mairil", atau "pak, saya siap di-mairil", dan sejenisnya. Para senior ndlowor itu biasanya bilang kalo mairil artinya adalah belajar atau ngaji atau apalah.
Nah, satu buku yang mengungkap wacana tentang mairil adalah novel berjudul Mairil (Pilar Media, Yogyakarta; 2005) karangan Syarifuddin.
Berikut ini ungkap Ridwan Munawwar :

"Syarifuddin yang sedemikian berani mengangkat sisi gelap pesantren; yakni abnormalitas perilaku seksual yang terjadi di pesantren (mairil; homoseksual). Detail-detail ilustrasi peristiwa yang diangkat dari fakta itu dinarasikan sedemikian vulgar. Boleh dikatakan bahwa novel ini subversif terhadap sistem tradisi pesantren; bukankah seksualitas dan cinta lawan jenis selama ini menjadi suatu hal yang (di) tabu (kan) di lingkungan pesantren? Faktanya; pembatasan pergaulan lawan jenis yang berlebihan merupakan faktor utama dari disorientasi seksual yang terjadi di pesantren. Meskipun tidak bisa tidak, di sisi lain novel ini potensial menciptakan suatu bias eksternal; dimana ia mengundang stigma buruk kalangan masyarakat terhadap pesantren sebagai institusi pendidikan berbasis agama.
Sayangnya, kritisitas novel Mairil ini tidak diimbangi dengan kebaruan corak dan wawasan estetika. Prestasi dari novel Mairil adalah kualitas dokumenter (Faruk HT, 2000) dimana ia berhasil mendongkrak sisi tersembunyi pesantren sebagai suatu sistem yang dinamis, dan bukan kualitas literer; kualitas stilistika, capaian estetika sastrawinya masih cenderung nge-pop. Namun, bagaimanapun inilah satu bentuk muntahan otokritik baru. Revolusioner terhadap kultur pesantren yang secara mayoritas cenderung patriarkhal dan mono-referen (hanya terpaku pada sistem referensi pemahaman tunggal).
Secara implisit, dapat kita interpretasikan bahwa kehadiran novel Mairil berusaha membuka cakrawala baru pemahaman tentang cinta; bahwa Cinta Illahiyah -yang sufistik- tidak begitu saja dengan gampang diraih secara instant. Demi kesuksesan dalam perjalanan mendaki tangga-tangga cinta, seorang insan mesti sabar dalam melewati tahapan-tahapan dimensional dari Jalan Cinta. Bukankah Ibn 'Arabi, sang maestro sufi itu pernah memberikan formulasi tentang Jalan Cinta; Cinta alami (cinta lawan jenis dan unifikasi makrokosmis), Cinta Ruhani, dan Cinta Illahi. Dan Cinta Alami menempati posisi yang amat vital; bukankah Ibn Arabi juga mampu menelurkan banyak karya lantaran motivasi psikologis yang kuat dari Nidzam, seorang wanita Baghdad yang dicintainya? Karenanya jatuh cinta terhadap lawan jenis merupakan suatu hal yang manusiawi dan tak bisa ditinggalkan.
Di wilayah sosio-internal, novel Mairil kiranya layak untuk mendapat perhatian dari kalangan elit pesantren. Suatu tantangan untuk berintrospeksi; bagaimana merekontruksi dan merevisi kembali penataan lingkungan pergaulan (millieu) antar lawan jenis, atau mulai mempertimbangkan pendidikan seksual yang efektif dan proporsional bagi santri-santrinya."


Yang unik dari perilaku mairil ini, adalah bahwa homoseksualitas biasanya hilang ketika sang pelaku lulus (pindah) dari lingkungan pesantren, dan bisa hidup normal dengan perempuan (istri). Jadi, homoseksualitas terjadi karena faktor tekanan lingkungan dan dorongan seks yang tidak bisa tidak harus disalurkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar