Minggu, 19 Desember 2010

Sejarah Homoseksualitas : Dari Jaman Kuno Hingga Sekarang

Sejarah Homoseksualitas.
Begitu beragam sikap publik di berbagai belahan dunia dalam pembahasan masalah homoseksualitas. Mulai dari yang terang-terangan menentang, bersikap toleran, acuh tak acuh, hingga sepenuhnya mendukung. Berbagai sudut pandang diketengahkan, mulai dari sudut pandang agama, sosial, budaya, hingga politik. Dari jaman sebelum Masehi hingga jaman modern, dari berbagai daerah di dunia, berbagai bangsa bahkan hingga mencapai ranah dunia fauna, fenomena homoseksualitas tidak pernah habis menuai perbincangan, debat, dan penelitian. Saat ini, agak sulit menemukan literatur yang dapat mencakup hampir segala hal mengenai homoseksualitas dalam satu buku, dan yang saya maksud adalah di luar pembahasan rutin seperti apakah homoseksualitas bersifat turunan atau karena belajar, penyakit menular seksual apakah yang beresiko didapat lewat kegiatan homoseksual, hingga definisi ‘seram’ fenomena homoseksualitas di kota besar (baca : buku-buku dengan embel-embel undercover) lewat pantauan pengamat pertama. Bukan, tetapi pembahasan mendalam tentang kajian homoseksualitas dari berbagai jaman, berbagai latar belakang budaya, dan berbagai peristiwa sejarah serta karya sastra. Pembahasan rinci yang dibuat senetral mungkin tanpa mengetengahkan sentimen atau dukungan pribadi, namun tetap informatif.
Sejarah Homoseksualitas : Dari Jaman Kuno Hingga Sekarang (diterjemahkan dari Histoire de l’homosexualité : De l’antiquité à nos jours) karya Colin Spencer merupakan satu dari sedikit literatur bermutu tentang pembahasan homoseksualitas yang mengetengahkan sudut pandang penulisan yang berbeda. Spencer mengetengahkan ragam aspek sosial budaya serta peristiwa-peristiwa dalam sejarah, dari yang menyangkut tokoh-tokoh besar hingga yang trivial, yang berkaitan dengan homoseksualitas. Sebagai pembuka, Spencer menguak fenomena homoseksualitas yang ternyata juga terjadi dalam dunia fauna. Tercatat hewan-hewan macam sapi, antilup, bonobo (sejenis primata) dan simpanse yang dilaporkan oleh pengamat melakukan aktivitas seksual mirip homoseks seperti saling menggosok-gosokkan alat kelamin (jantannya), oral seks, bahkan simpanse betina yang menunjukkan kecenderungan agresif pada simpanse jantan dan lebih memilih ‘menaiki’ simpanse betina serta menirukan gerak-gerik simpanse jantan sewaktu musim kawin (bayangkan menjadi peneliti yang mengamati hewan-hewan ini).
Penjelasan-penjelasan selanjutnya, sesuai dengan sub-judulnya, disusun secara kronologis oleh Spencer, mulai dari jaman pra-sejarah, jaman kuno, abad pertengahan, renaissance, pra-modern, hingga modern. Tetapi penjelasan dalam tiap bab itu sendiri terdiri dari potongan-potongan penelitian, mitologi, hasil pengamatan, penjelasan tentang artifak, potongan karya sastra, bahkan potongan ayat kitab suci, yang di satu sisi merupakan kelebihannya tetapi mungkin agak membingungkan bagi pembaca awam ; apalagi buku ini tidak dilengkapi ilustrasi. Tidak adanya ilustrasi ditebus dengan penjelasan sedetil mungkin, bahkan fakta-fakta trivial yang menarik seperti kisah Kaisar Nero yang mengastrasi (menyunat) budak lelakinya, mengganti identitasnya menjadi wanita lalu menikahinya. Atau adat pernikahan antar lelaki di Fujian, Cina, dimana lelaki yang lebih tua menikahi lelaki yang lebih muda dan menyebutnya sebagai ‘adik lelaki angkatnya’, sementara keluarganya juga memerlakukannya sebagai seorang menantu. Spencer nampaknya memberi perhatian yang lebih banyak dalam pembahasan tentang Yunani, Romawi, dan wilayah Eropa lainnya terutama dalam bab tentang jaman kuno, tetapi itu mungkin karena dalam ranah budaya tersebut, homoseksualitas telah merasuk ke dalam aspek filosofi dan religius bahkan terasosiasikan dalam figur-figur sesembahan mereka.
Para pembaca juga dapat mengetahui adanya karya-karya sastra, bahkan syair-syair kuno dan klasik, yang terang-terangan dan secara eksplisit menerangkan tentang aspek-aspek homoseksualitas, seperti pujian dan hasrat yang dinyatakan seorang penyair pria kepada anak laki-laki, puisi sakit cinta Sappho, penyair wanita Yunani dari Pulau Lesbos, kepada wanita lain, dus menyumbangkan istilah lesbian, dan bahkan soneta cinta Shakespeare yang terkenal ternyata merujuk kepada percintaan homoseksual, bukan heteroseksual seperti yang dikira banyak orang (sayang sekali Serat Centhini dan bissu Sulawesi tidak disebutkan atau dibahas dalam riset Spencer). Sebaliknya, ada juga penggambaran upacara adat yang eksplisit dan terkesan ‘brutal’ menyangkut tradisi percintaan antar lelaki terutama dalam upacara inisiasi anak lelaki di pulau-pulau Melanesia dan Oseania, dimana tradisi menelan air mani dalam kegiatan oral seks menjadi bagian dari kedewasaan anak lelaki.
Buku ini bukan merupakan satu-satunya rujukan tentang aspek sosial-budaya dari homoseksualitas. Banyaknya informasi yang tercantum dalam buku ini dapat menuntun para pembaca untuk mencari informasi yang lebih dalam atau melakukan riset lanjutan. Buku yang sangat saya rekomendasikan bagi para peneliti, budayawan, sejarawan, pelajar, atau orang awam yang sekedar mencari bacaan bermutu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar